Retorika Dalam Al-Qur’an

by Unknown , at 18:02 , has 0 comments

Retorika Dalam Al-Qur’an


Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuuh…
InsyaAllah, Rahmat Allah SWT. selalu tercurahkan kepada saudara-saudaraku yang seiman, yang tetap berpegang teguh pada tali agama Allah SWT. hingga akhir zaman kelak, yakni diinul Islam. Dan semoga kita orang-orang yang mendapat syafa’at Allah melalui perantaraan Rasulullah, Muhammad SAW. dan semoga juga kita termasuk orang-orang yang berilmu yang dimuliakan dan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. (baca QS; Al-Mujaadilah: 11).
Wallahu’alam…



Sebelumnya, Saya minta ampun Kepada Allah SWT. yang apabila dalam catatan ini terdapat kekhilafan saya dalam menyampaikan, karena kita hanya seorang hamba yang terlahir dari suatu yang hina, namun walaupun demikian, Dia (Allah SWT) memuliakan dan mengangkat derajat hamba-hamba-Nya dengan berbagai cara sesuai tingkatan iman kita masing-masing, wallahu’alam.
Dan setelah itu, saya minta maaf kepada teman-teman yang kurang berkenan di-tag oleh saya. Bukan maksud menyudutkan beberapa pihak, namun ini saya tulis dengan –insyaAllah- semata-mata tidak mengharap apa-apa dari kita semua, kecuali berharap kepada keridhaan-Nya, dan berharap sebagai pelajaran bagi kita semua dalam menyampaikan misi keIslaman ini secara benar dan baik. Dan kepada teman-teman yang mungkin merasa lelah membaca catatan ini karena merasa terlalu panjang, saya sarankan menge-print catatan kita ini agar mudah dibaca dan bermanfaat. InsyaAllah.
Saya menulis pembahasan ini adalah karena Saya “gelisah” melihat sebahagian teman-teman yang menyampaikan misi keIslaman, baik lewat facebook ataupun media sosial lainnya, yang tidak menggunakan beberapa metode yang Islami yang telah termaktub pada Al- Qur’an dan Al- Hadits, dan bahkan -maaf- melenceng dari metode-metode dakwah. Seperti yang pernah Saya baca pada beberapa komentar-komentar ataupun notes teman-teman di facebook sendiri yang menyudutkan agama orang lain –bahkan ada yang memaki sesembahan agama orang lain- yang saya anggap metode tersebut salah, dan saya merasa dia terlalu mengandalkan nafsunya ketimbang akal dan hatinya dalam memahami sebuah masalah. Bukankah Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-‘Anam ayat 108; “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. Dan ada juga beberapa teman-teman di facebook juga yang menggunakan media sosial ini sekaligus untuk mengajak kepada kaumnya atau golongannya; “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Dan ada juga beberapa teman yang sungguh –bahasa istilahnya Copas atau copy-paste- mengeluarkan dalil-dalil –baik Al-Qur’an dan Al-Hadits- yang dia sendiri mungkin kurang mafhum dan kurang mampu menafsirkan maksud dari dalil-dalil tersebut tanpa merujuk kepada kitab-kitab atau alat-alat dalam ilmu tafsir yang ada. Jika menurut gurunya guru Saya, tidak ada kitab hadis tidak usah bicara (dalam hal ini berdebat).

Kita (umat Muhammad) memang diwajibkan menjadi da’iya ilallaah di bumi Allah ini, namun bukan serta merta kita sekedar menyampaikan apa yang sudah “matang” yang disediakan Allah, namun kita juga harus memperhatikan tatanan serta cara yang terbaik dalam sebuah ladang dakwah, baik pada tempat, waktu, dan objek yang ingin kita dakwahi. Tidak sembarang dai atau daiah dapat menyampaikan pelajaran, namun harus diiringi dengan cara yang baik dan indah, dan kebaikan itu bisa didapatkan di dalam menyeleksi obyek yang tepat, metode yang menarik, waktu dan tempat yang sesuai, sehingga tersentuh hati dan perasaan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Mungkin ini sedikit ilmu yang saya rujuk dari Dr.Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya “Retorika Islam, Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam” yang insyaAllah menuntun kita menyampaikan dakwah secara tepat sasaran, tidak asal sekedar menyampaikan, dan juga tidak sia-sia. dan satu hal lagi adalah, kejujuran dan rasa ikhlas dalam menyebarkan dakwah ini, sehingga orang-orang yang mendengar dakwah kita ikhlas juga menerimanya. InsyaAllah.

1. Metode Retorika Agama

Retorika agama telah digambarkan dalam Al-Qur’an, yakni pada QS: An-Nahl: 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”, dan retorika ini ditujukan tidak kepada Nabi saja, namun kepada umat yang mengikuti jejaknuya.
Dalam Al-Qur’an, yakni QS: Yusuf: 108, “Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”, ayat ini bermakna bahwa, semua orang yang mengikuti Nabi Muhammad SAW, Allah SWT sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, serta Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul-Nya, maka mereka adalah dai kepada Allah, dan dai dengan hujjah yang nyata sesuai Al-Qur’an, “aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata”. Dengan demikian, berarti umat Islam diutus untuk seluruh umat manusia seperti eksistensi Nabi.

2. Prisnip-prinsip retorika Islam

Al-Qur’an telah menetapkan sarana-sarana yang memudahkan ahli dakwah Islam dalam melaksanakan tugasnya sebagai dai, dengan kata-kata yang singkat-padat, jelas dan tegas.

2.1 Dakwah dalam Islam adalah kewajiban bagi setiap muslim

Sesuai dengan dalil, “aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata”, maka, setiap muslim wajib mengemban misi dakwah Islam ini, dengan bentuk dan cara tertentu. Misalnya, dengan menulis buku-buku, persentase ceramah-ceramah di perguruan tinggi dan atau pusat keilmuan lainnya, khutbah Jum’at, pengajian dan pengajaran agama di mesjid-mesjid dan tempat-tempat lainnya. Dan ada juga dengan dakwah dengan kalimat-kalimat thayibah, pergaulan yang baik dan keteladanan. Dan ada lagi orang berdakwah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas material untuk kemaslahatan dakwah; memberi infak untuk para dai, atau juga menyebarkan produktivitas dakwah, atau membangun pusat aktivitasnya, sesuai dengan sabda Nabi, “ Barangsiapa mempersiapkan tentara fisabilillah, maka sesungguhnya ia telah ikut berperang” (HR. Al-Bukhari [2843] dan Muslim [1895], dari Zaid bin Khalid), ataupun juga yang sedang berkembang pada saat sekarang ini yakni berdakwah dengan media internet; blog, facebook, twitter,dll. Namun media internet juga perlu kita bersikap wara’ (berhati-hati) dalam mengambil suatu keilmuan di dalamnya, jangan asal copy-paste, perhatikan setiap tulisan dan perkataannya, serta rujukan-rujukan yang tidak ngasal.

2.2 Dakwah Rabbaniah ke Jalan Allah

Prinsip kedua, seorang dai harus benar-benar memahami, bahwa dia menyeru semata-mata untuk fisabilillah (jalan Allah), untuk menunjukkan manusai ke jalan yang lurus yang telah di gariska-Nya.
Seorang dai tidak mengajak orang lain untuk ikut menuju jalannya sendiri, ataupun kelompoknya. Tetapi harus semata-mata mengajak orang lain ke jalan Allah saja. Perhatikan firman Allah QS; At-Taubah: 31 ini, “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Sangat jelas, untuk tidak mengajak kepada tatanan manusia, filsafat duniawi, dan hukum buatan manusia. Tidak juga melaksanakan perintah sultan, raja, presiden, atau amir. Sebaliknya mengajak kepada pembebasan manusia dari penghambaan kepada manusia sendiri. Karena manusia –dalam pandangan Islam- tidak memiliki kekuasaan untuk membuat hukum yang mutlak; menghalalkan atau mengharamkan sekehendaknya sendiri. Seperti terjadi sebuah kejadian pada suatu fase sejarah, sehingga di cela oleh Allah dalam Al-Qur’an; “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah* dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

*Maksudnya adalah, mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.

2.3 Cara hikmah

Pengertian hikmah disini adalah, “mengajak bicara kepada akal manusia”, dengan dalil-dalil yang ilmiah yang memuaskan dan bukti-bukti logika yang cemerlang. Seperti perkataan Ali RA.; “Berbicaralah kepada manusia dengan ucapan yang mereka pahami. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Jilid 1, h. 255, cet. Darul Fikr atau bisa juga dilihat pendapat DR.M Fuad Syakir Ungkapan Populer yang Dianggap Hadis Nabi (terj.), h.33, cet. Pustaka Al-Kautsar, 2001 oleh M. Zacky Mubarak, S.s).

2.3.1 Berbicara kepada manusia dengan bahasanya

Termasuk hikmah adalah, berbicara atau berdialog dengan orang lain dengan bahasanya, atau bahasa yang mudah dipahaminya dan dengan komunikasi yang feedback (timbal-balik). Perhatikan firman Allah ini; “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka…” (QS. Ibrahim: 4).
Selain itu juga, pengertian tersebut tidak terbatas sekedar, orang-orang Cina diajak berbicara dengan bahasa Cina, orang Jawa diajak berbicara dengan bahasa Jawa saja, dll, tetapi maksud lainnya adalah orang-orang berilmu diajak bicara dengan bahasa keilmuannya, orang-orang awam diajak dengan bahasa mereka (orang awam).

2.3.2 Bersikap ramah

Termasuk hikmah pula, untuk bersikap ramah dan lembut dengan diselaraskan dengan metode Nabi dalam dakwah dan pengajarannya; “Permudahlah dan janganlah mempersulit, berilah berita gembira dan janganlah menyusahkan” (Muttafq Alaih, dari Anas, tersebut di dalam Al-Lu’luwa Al-Marjan [1131]). Oleh sebab itu, kita tidak boleh membebani seseorang dengan suatu urusan yang tidak dapat dipikulnya. Dengan begitu, dia tidak menolak seruan kita, atau mengatakannya, “Kami telah mendengar dan kami melanggarnya.” Sabda Rasulullah, “Apabila Aku menyuruh kamu sekalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakan sesuai dengan kemampuanmu” (Muttafq Alaih, dari Abu Hurairah, di dalam Al-Lu’luwa Al-Marjan).


2.3.3 Memperhatikan tingkatan pekerjaannya dan kedudukan syariatnya

Termasuk kategori hikmah, meperhatikan dan menjaga tingkatatan pekerjaan (apa-apa yang paling utama dilakukan oleh seorang dai), nilainya dan legalitas syar’ienya.
Seorang dai seharusnya menyusun pesan-pesan Islam sacara baik, sesuai dengan tempat, waktu, dan tingkatan masing-masing. Kemudian kita sampaikan perintah dan larangan sesuai dengan prioritasnya itu.
Jika seorang dai menyampaikan kepada seorang yang belum mafhum terhadap ajaran Islam ataupun kepada non muslim masalah furu’, padahal ternyata dalam hal furu’ itu sendiri –misalnya menyampaikan ceramah mengenai memakai cadar, haramnya membuka wajah dan anggapannya termasuk aurat wanita- ternyata masih ada perbedaan dalam menetapkan asalnya. Bagaimana kita menggebu-gebu dalam memotivasi seseorang dalam shalat tahajjud, padahal shalat fardhu masih sering dilalaikan, bahkan sengaja menunda-nundanya, mengupas hukum syariat dalam perintah dan larangan, padahal keyakinan akidah masih mengambang, dan tidak dikuatkan terlebih dahulu. Semestinya kita perhatikan kembali hadis Nabi dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya, bahwa Rasulullah SAW. Ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka pertama kali yang kamu serukan kepada mereka adalah; penyembahan kepada Allah, (dalam riwayat lain adalah; kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah…), jika mereka telah mengetahui Allah, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat 5 kali shalat dalam sehari semalam, jika telah mengerjakan shalat, maka sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat dari harta mereka yang dimabil dari orang kaya dan dibagi kepada orang-orang yang fakir…” (Al-Bukhari dalam Fath Al-Bari [1458], penerbit As-Salafiyah, diriwayatkan oleh Muslim juga).


2.3.4 Penyampaian kewajiban Shalat dilakukan setelah mereka mengetahui Allah

Termasuk cara hikmah, jika sebelumnya kita menguatkan fondasi (ushul) –misalnya, dalam berfikih, kita harus paham dulu Ushul Fiqh, begitu juga memahami Al-Qur’an atau Al-Hadits, harus memahami ‘Ulumul Qur’an dan ‘Ulumul Hadits- kemudian barulah menyeru kepada furu’. Para salaf kita menuturkan, “Tidak ada yang menghalangi pencapaian tujuan kecuali kecerobohan terhadap landasan.”
Merupakan penyimpangan dari hikmah, saat kita berlebihan dalam hal-hal sunnah, dan membiarkan manusia menyepelekan kewajiban-kewajiban. Dalam pernyataan hukum dari para salaf kita; “Barangsiapa disibukkan oleh hal yang wajib sehingga meninggalkan yang sunnah, maka dia adalah ma’dzur (udzurnya diterima). Dan barangsiapa disibukkan oleh hal-hal yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib, maka dia maghur (terpedaya).
Intinya, setiap sesuatu hal itu mempunyai kulit luar seperti halnya keimanan yang bertingkat-tingkat, yakni sebanyak 70 tingkat. Maksudnya adalah, manusia tidak serta merta menerima Islam secara bulat-bulat, perlu pembelajaran dan pemahaman yang mendalam, yakni dengan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, lalu mengimani adanya Allah dan segala ciptaan-Nya, lalu mengamalkan ajaran-Nya dengan sebenar-benar takwa, dst..


2.3.5 Gerakan bertahap

Yang perlu diperhatikan juga adalah, mengajak manusia secara tadarruj (gradual/bertahap), karena tadarruj sendiri adalah hukum alam, sebagaimana ia merupakan hukum syari’at. Dikatakan hukum alam, sebab dalam penciptaan manusia sendiri misalnya, melalui proses gradual, dari satu tahapan ke tahapan lainnya; mulai dari nuthfah hingga terbentuk embrio (baca QS; Al-Hajj: 5, Ghafir: 67), lalu lahirlah bayi dan hingga ia beranjak akhir tua. Perhatikan firman Allah QS; Nuh: 14; “sesungguhnya Dia menciptakan kamu dalam beberapa tahapan”.
Sangat disayangkan, sebagian saudar-saudara kita ataupun saya sendiri pribadi mungkin tidak memelihara gradual tersebut (semoga Allah memberikan kita petunjuk jalan yang lurus). Diantara banyaknya persoalan akidah, kita malah membahas mengenai perosalan perbedaan pendapat mengenai Mazhab. Padahal peperangan saat ini tidak melawan orang-orang yang beriman kepada Allah, mempercayai hari akhir dan hari perhitungan. Adapun peperangan dewasa ini sebenarnya adalah melawan penyimpangan-penyimpangan yang tidak mempercayai eksistensi Allah secara mutlak, yang mengatakan; “Tidak ada Tuhan, dan kehidupan adalah materi.”
Dan selanjutnya, termasuk cara hikmah adalah sikap lemah lembut, simpati dan kasih sayang terhadap orang-orang yang diajak ke jalan Allah. Perhatikan firman Allah; “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Ali Imran: 159).

2.4 Metode mau’izhah hasanah

Mau’izhah hasanah (pelajaran yang baik) adalah mengajak berbicara kepada hati dan perasaan agar menyadari dan bergerak untuk bertindak. Karena manusia mempunyai isntrumen untuk memahami dan mendalami, yakni dengan akal dan hati.
Jika metode hikmah cenderung diberlakukan kepada orang intelektual (elite) yang menstimulasi akal mereka untuk menerima kebenaran dari statement-statement ilmiah-logis, pada gilirannya tergerak untuk melakukan kebaikan dan kebenaran, sedangkan metode mau’izhah hasanah mayoritas dibutuhkan oleh orang awam.
Jika hikmah tidak diiringi kata sifat, maka mau’izhah (pelajaran) diiringi dengan kata sifat hasanah (baik). Maka dari itu, tidak sembarang dai dapat menyampaikan pelajaran, namun harus diiringi dengan cara yang baik dan indah, dan kebaikan itu bisa didapatkan di dalam menyeleksi obyek yang tepat, metode yang menarik, waktu dan tempat yang sesuai, sehingga tersentuh hati dan perasaan bagi siapa saja yang mendengarnya. Nabi pernah menegur seorang sahabat yang mencela sahabat lain yang kecanduan minum khamer. Ketika sahabat itu datang kepada Nabi dalam keadaan mabuk, seseorang mengatakan ; “Allah SWT. melaknatnya! Berapa banyak khamar yang diminumnya! Maka Rasulullah SAW menegurnya, “janganlah kamu menjadi penolong setan atas saudaramu” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah). Terkadang juga kebaikan terletak pada cara yang luwes antara pemberian ancaman dengan pemberitaan gembira (baca QS; Al-Mai’dah; 98), antara peringatan dan nasehat (baca QS; Ar-Rad; 6). Tetapi, disis lain, tidak boleh juga memberikan harapan sehingga manusia merasa aman dari tipu daya (laknat) Allah, padahal, tidak ada yang merasa aman dari tipu daya Allah kecuali kaum yang merugi (baca QS; Al-A’raf 99).

......sambungan.

2.5  Penyimpangan Retorika dari Metode Al-Qur’an

Metodologi Al-Qur’an bagi kebanyakan para dai di era modern ini masih samar-samar. Pemahaman yang benar belum mengendap tenang dalam akal mereka. Kebenaran bercampur-aduk dengan kebatilan, terlebih lagi, dengan adanya propaganda-propaganda yang marak dari sumber-sumber yang tidak dapat dipercaya, semisal internet dan media komunikasi lainnya yang bisa dikatakan masih diragukan keabsahannya.
Hal itu dengan mudah mereka terim tanpa penyaringan melalui para ulama dan fuqaha yang kompeten. Uapay yang semestinya dilakukan adalah menggabungkan keabsahan nash dengan kejernihan logika, menimbang peninggalana ulama terdahulu dengan kebudayaan modern, menyelarasakan makna dhahir dari nash-nash dengan tujuan-tujuannya, dan mengetahui bagaimana mengambil pelajaran dari masa lalu, bagaimana menyongsong masa depan.
Para dai dan muballigh setidaknya memiliki wawasan pemikiran dan pengetahuan, sebagaimana dalam buku Tsaqafat Ad-Dai’yah (wawasan para Dai), berupa; pengetahuan agama, budaya dan sastra, sejarah, humaniora, sains dan teknologi, dan pengetahuan realita. Kelengahan dalam mempersenjatai diri dengan enam poin tersebut mengakibatkan kesalahan-kesalahan dalam retorika kita. Orang awam pun dapat merasakan ketimpangan, apalagi orang terpelajar.

2.6  Hidup bukan di zamannya'

Ada lagi, sebagian dai yang mengajak dialog audiensi dengan “retorika kematian”, yakni, seolah-olah tidak hidup di zamannya. Hiruk-pikuk kehidupan tidak digubrisnya sama seklai. Wawasannya sudah ditelan waktu dan pemikirannya pun sudah kadaluwarsa. Problematika yang diketengahkan sudah usang, bahkan kosakata-kosakata yang digunakan pun telah banyak ditinggalkan oleh orang-orang sekitarnya. Jadi, seakan-akan bukan penghuni abad ke 15 Hijriah, atau abad 21 Masehi ini.
Bukankah mengenaskan? Seorang khatib jum’at berkhutbah tentang “Kemakhlukan Al-Qur’an” dengan meluap-luapkan kemarahannya kepada Mu’tazilah yang menyulut fitnah terhadap kaum muslimin dan para imamny seperti Ahmad bin Hambal, dan seterusnya. Bukankan peristiwa itu sudah terjadi beberapa abad silam, dengan factor-faktor politik, pemikiran, dan agama yang melatar belakanginya? Mengapa hujatan atas sekelompok orang yang sudah tiada dijadikan topik inti khutbah, padahal konteksnya pun tidak relevan dengan kondisi saat ini?.
Bisa menjadi relevan, jika topik yang dipilih bukan “Kemakhlukan Al-Qur’an” tersebut, tetapi -misalnya- “Otensitas atau Otoritas Al-Qur’an”. Karena banyaknya orang saat ini yang mengingkari kemurnian Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah SWT, atau mungkin mempercayaianya tetapi menafikan otoritasnya sebagai sumber yang mashun dan tertinggi bagi syariat, hukum dan aturan-aturan bermasyarakat, pola pkir, tradisi, dan sebagainya.

2.7  Berdialog dengan cara yang terbaik

Di antara ciri-ciri dari metode dakwah yang digariskan Al-Qur’an adalah berdialog dengan cara yang terbaiok. Dan pada dasarnya, berdialog dilakukan saat menghadapi orang-orang yang berbeda pendapat.
Terdapat susunan kata yang perlu diperhatikan dengan seksama pada ayat yang melandasi cara-cara berdakwah ini. Setelah penjelasan tentang karakteristik “hikmah” dan“mau’izah hasanah”, kini kita lanjutkan kepada “al-jidal bi al-lati hiya ahsan” (berdialog dengan cara yang terbaik).
Apabila kita teliti ayat sebagai salah satu dalil retorika kita saat ini, maka kita dapatkan ungkapan Al-Qur’an yang luar biasa hebatnya (mu’jiz). Pada kata “mau’izah” dikiikuti kata sifat “hasanah” dalam bentuk biasa, karena biasanya disampaikan kepada orang yang pada dasarnya setuju dengan substansi pembicaraan. Adapun kata “jidal” diiringi oleh bentuk superlatifnya (ism al-tafdhil; menunjukkan arti lebih/paling) yaitu “ahsan”, sebab pada umumnya ketika berhadapan dengan orang yang membantah atau tidak sependapat dengan pesan yang diberika, sehingga harus lebih berhati-hati agar dapat diterima dengan akal dan hati terbuka. Dengan pengertian ini, maka seorang dai tidak sekedar memilih cara yang baik saja dalam berdebat/dialog, tetapi harus terbaik dan paling efektif mencapai sasaran.
Diantaranya, menggunakan kata-kata yang halus, susunan kalimat yang indah lagi efektif, dan cara pengungkapan yang santun. Sehingga, orang yang diajak dialog dapat lunak hatinya, dan lebih mendekati kepada pesan yang apa disampaikan. Begitu pula, tidak menyempitkan dadanya atau membangkitkan emosinya. Sesungguhnya Al-Qura’an telah memberika contoh yang banyak dalam hal ini. Seperti firman Allah; QS. Saba’: 24; “Katakanlah: ‘Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?’ Katakanlah: ‘Allah’, dan Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata?”. Ayat ini dilontarkan kepada kaum musyrikin yang mengingkari tauhid. Ungkapan, “dan Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata?”adalah ungkapan yang lembut, mendinginkan perasaan orang yang sedang bergejolak dan pikiran yang sedang labil. Yakni; bahwa salah satu dari dari dua pihak yang berdialog, adalah yang sesat: kami atau kamu sekalian; tidak mengatakan dalam dialog, bahwa kamu sekalian dalam kesesatan yang nyata. Sedemikian itu, agar penentang dapat mencerna makan dengan tenang, sehingga menerimanya, atau setidaknya mendekatinya.
Setelah itu dilanjutkan dengan firman-Nya pada; QS. Saba’: 25; “25.  Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami (juga) tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat".
Untuk menjaga keselarasan, barangkali dikatakan:”Dan kami (juga) tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Namun tidak demikian yang dilakukan, demi meluluhkan hati mereka dan menjinakkan akalnya, maka tidak di ekspresikan melalui kata-kata konfrontatif.
Selanjutnya, termasuk cara berdialog dengan yang terbaik, yaitu memusatkan perhatian kepada poin-poin pembicaraan yang dapat diterima oleh kedua pihak yang berdebat, untuk mengikis perbedaan dan pertentangan yang terjadi; tidak sebaliknya. Karena, adanya kesamaan ini dapat membantu keseriusan dan kemanfaatan berdialog, minimal lebih menguatkan hal-hal yang sama-sama telah spendapat.
Hal ini telah dipesankan oleh Al-Qur’an, ketika berdialog dengan Ahli kitab, seperti firman Allah SWT dalam; QS. Al-Ankabut: 46; “Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri".
Konotasi ayat di atas terfokus pada pendekatan akidah orang Islam terhadap orang nonmuslim. Sisi akidah yang menjadi titik tolak dialog adalah keimanan kepada Allah dan Kitab-Nya serta Rasul-Nya. Titik temu dialog adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada Kitab Samawi. Dialog ini dapat difungsikan untuk menyadarkan Ahli Kitab agar kembali kepada kitab suci yang mereka imani, khususnya tentang indikasi adanya akhir para rasul, dan pada gilirannya memurnikan tauhid mereka. Selain itu, bisa juga dijadikan argumentasi dalam menghadapi para ateis yang hanya mempercayai materi, tidak percaya adanya Tuhan yang menguasai alam semesta, dan tidak percaya akhirat.
Penulis Fii Zhilal Al-Qur’an, Sayyid Quthub –semoga Allah senantiasa merahmatinya– menjelaskan tentang cara berdialog dengan yang terbaik, yaitu sebuah dialog yang lembut, luwes, tidak memberatkan pihak kedaua (yang diajak dialog), dan tidak melecehkannya. Dengan begitu, dia merasa dekat dengan pihak pertama (dai), dan memahami bahwa tujuan dai ini tidak untuk menang dalam dialog, tetapi mencapai kebenaran secara memuaskan.
Demikain itu, selanjutnya karena manusia memiliki sifat besar diri dan kesombongan, sehingga enggan mundur dari pendiriannya yang dipertahankannya kecuali dengan kelembutan, dan tidak merasakan kekalahan. Memang, betapa agung nilai suatu pendapat dan pemikiran, maka mencabutnya dari pemiliknya terasa menguranagi wibawa dan kehormatan. Oleh sebab itu, fungsi dialog disini adalah menetraslisir sifat yang sangat sensitive itu, demi menyingkap kebenaran di hadapan pihak kedua. Akhirnya, dia sanggup menerima kebenaran itu  dengan lapang dada. Maka yang harus diperhatikan dai, bahwa berdialog ini bukan untuk memenagkan pendapat pribadinya dan mengalahkan pihak lain, tetapi mengunggulkan ajaran kebenaran Islam di jalan Allah SWT.
Oleh sebab itu, dai tidak boleh terlalu ambisisus, tetapi harus bersikap tenang sehingga tidak kehilangan control diri. Tugas utama dai adalah menjelaskan risalah dengan yang terbaik, dan urusan selanjutnya Allah lebih mengetahui orang yang sesat dari jalan-Nya, dan lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk, sebagaimana diindikasikan dalam nash Al-Qur’an yakni; QS. An-Nahl: 125 (lihat; Fii Zhilal Al-Qur’an, karya Sayyid Quthub, h. 202, cetakan Dar Asy-Syuruuq).
Retorika Dalam Al-Qur’an
About
Retorika Dalam Al-Qur’an - written by Unknown , published at 18:02, categorized as Islam . And has 0 comments
0 comments Add a comment
Bck
Cancel Reply
Copyright ©2013 Adhi's Blog by
Theme designed by Damzaky - Published by Proyek-Template
Powered by Blogger
-->